Muzara`ah
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih 2
Dosen Pengampu :
Drs. Muhammad Ma’shum Zein, MA
Disusun Oleh:
1.
M.
Makinuddin (1112086)
2.
Yanuar Setyawan (1112051)
3.
Indi Khakimah (1112067)
4.
Rizka Amalia (1112044)
PRODI PAI
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM
2013
KATA PENGANTAR
Segala puji
hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rosulullah
SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah
ini guna memenuhi tugas mata kuliah
Fiqih 2.
Dalam penyusunan
makalah ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi, baik itu yang datang
dari penulis maupun yang datang dari luar. Namun penulis menyadari bahwa
kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan,
dan bimbingan orang tua juga para sahabat. Terutama pertolongan dari Allah
sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi dapat teratasi.
Makalah ini
disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang fungsi administrasi
pendidikan serta permasalahan lainnya, yang kami dapatkan dari berbagai sumber
informasi, serta berbagai buku.
Semoga makalah
ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran
kepada pembaca khususnya mahasiswa Universitas Pondok Pesantren Tinggi Darul
Ulum. Penulis sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca
demi baiknya penulisan dimasa yang akan datang.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bekerja adalah suatu kewajiban bagi manusia.
Banyak sekali bidang-bidang pekerjaan yang ada pada saat ini, salah satunya adalah
dalam bidang pertanian. Pertanian pada umumnya dilakukan oleh masyarakat pedesaan,
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Diantara mereka ada yang memiliki lahan sendiri
untuk digarap yang mempunyai luas yang bevariasi, ada pula yang tidak memiliki lahan
sendiri melainkan bekerja menggarap lahan milik orang lain dan mendapatkan upah.
Selain itu, ada juga seorang yang memiliki lahan dan tidak dapat menggarapnya sehingga
penggarapannya diwakili oleh orang yang mendapat sebagian hasilnya.
Dari berbagai permasalahan diatas dapat kita peroleh kesimpulan bahwasannya
hidup itu saling membutuhkan satu sama lainnya. Islam mempunyai solusi agar
manusia dapat saling membantu dalam bidang pertanian, salah satunya dengan memakai
system nuzara`ah, yaitu kerjasama antara pemilik sawah/lading dengan petani
penggarap dengan system bagi hasil menurut perjanjian, dimana benih tanamannya disiapkan
oleh penggarap. Sehingga dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang pengertian
dan dasar hokum muzara`ah, status hukum Muzara`ah, rukun dan syarat muzara`ah, serta hikmah muzara`ah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
Pengertian dan Dasar Hukum Muzara`ah?
2.
Apakah
Status Hukum Muzara`ah?
3.
Apakah
Rukun dan Syarat Muzara`ah?
4.
Kapankah
Muzara`ah bias dikatakan habis?
5.
Apakah
Hikmah Muzara`ah?
C.
Tujuan
1.
Agar
Mahasiswa/i mengetahui pengertian dan dasar hokum muzara`ah
2.
Agar
mahasiswa/i mampu memahami status hokum muzara`ah
3.
Agar
mahasiswa/i mengetahui rukun dan syarat muzara`ah
4.
Agar
mahasiswa/i megetahui kapan muzara`ah dikatakan habis
5.
Agar
mahasiswa/i mampu memahami hikmah muzara`ah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Hukum Muzara`ah
1.
Pengertian
a.
Bahasa
Secara
etimologi muzara`ah (المُزَارَعَةُ) adalah wazan مُفَاعَلَةٌ dari kata اَلزَّرْعُ
yang sama artinya dengan الإِنْبَاتُ (menumbuhkan).[1]
b.
Istilah
Secara
terminology muzara`ah adalah kerjasama antara pemilik sawah/ladang dengan petani
penggarap dengan system bagi hasil menurut perjanjian, dimana benih tanamannya disiapkan
oleh penggarap. .
c.
Pendapat
ulama’
b)
Ulama’
Hambaliyah
د َفْعُ الْاَرْ ضِ اِلَى مَنْ
يَزْ رَعَهَا اَؤْ يَعْمَلُ عَلَيْهَا ؤَالزَّرْعُ بَيْنَهُمَا
“menyerahkan tanah orang yang akan bercocok tanam
atau mengelolanya, sedangkan tanaman (hasilnya)
tesebut dibagi diantara keduanya.”
c)
Ulama’
Syafi’iyah
اَ لْمُخَا بَرَ ةُ هِيَ عَمَلَ اْلاَرْضِ بِبَعْضِ مَا يَخْرُ جُ مِنْهَا
ؤَاْلبَذْ رُ مِنَ الْعَا مِلِ . ؤَالْمُزَ ا رَعَةُ هِيَ الْمُخَا بَرَ ةُ وَلَكِنَّ
الْبَذْرَ فِيْهَا يَكُؤْ نُ مِنَ الْمَا لِكِ.
“Mukhabarah adalah pengelola tanah di atas sesuatu
yang dihasilkanya dan benihnya berasal dari pengelola.”
Adapun
muzara’ah sama seperti mukhabarah hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah.”[3]
d)
Syaikh
Ibrahim al-Bajury
Berpendapat bahwa Muzara`ah adalah pekerja mengelola tanah dengan
sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah.[4]
2.
Dasar
Hukum Muzara`ah
Dasar hukum diperbolehkannya kerja sama dalam bentuk muzara`ah adalah
sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
مَنْ كَانَتْ لَهُ اَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا اَوْ لِيَمْنَحْهَا اَخَاهُ
فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ اَرْضَهُ. رواه البخارى
“
Barang siapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya
kepada saudaranya, jika ia tidak mau,
boleh ditahan saja tanah itu.”
(H.R.
al-Bukhari dari Abu Hurairah: 2172)[5]
Sebagian
ulama’ melarang muzara’ah, mereka beralasan dengan beberapa hadis yang melarang
muzara’ah. Hadist tersebut terdapat dalam kitab hadist Bukhari dan Muslim,
diantaranya:
Sabda Rasulullah Saw.
عَنْ
رَافِع بن خَدِيْج قَالَ كُنَّاأَكْثَرَالْاَنْصَارِحَقْلاً فكُنَّا نُكْرِي الْاَرْضَ
عَلَى أَنَّ لَنَا هَذِهِ وَلَهُمْ هَذِهِ فَرُبَّمَا أَخْرَجَتْ هَذِهِ وَلَمْ تُخْرِجْ
هَذِهِ فَنَهَا نَاعَنْ ذَلِكَ. رواه البخارى
Berkata Rafi’ Bin
Khadij: "Diantara
Anshar yang banyak mempunyai tanah adalah kami maka kami persewakan sebagian tanah
untuk kami dan sebagian dari mereka yang mempekerjakannya, terkadang-kadang sebagian
tanah itu berhasil baik dan yang lain tidak berhasil, oleh karenanya Rasulullah
Saw. Melarang muzara’ah dengan cara demikian.”(Riwayat Bukhari).
Ulama’
yang lain berpendapat diperbolehkan, pendapat ini dikuatkan oleh Nawawi, Ibnu Mundzir
dan Khattabi, mereka mengambil alasan dengan hadis Ibnu `Umar.
Sabda Rasulullah Saw. :
عَنْ
ابْنِ عُمَرَ أنَّ النِبي صلى الله عليه وسلم عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَبِشَرْطِ مَايَخْرُجُ
مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ. رواه مسلم
Dari Ibnu ‘Umar:
“Sesungguhnya Nabi besar Saw. Telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar
agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan,
baik dari buah-buahan atau hasil pertahunan (Palawija).” (Riwayat Muslim).[6]
B.
Status
Hukum
1.
Hukum muzara`ah shahih menurut hanafiyah
Menurut ulama` Hanafiyah, hokum muzara`ah yang shahih adalah sebagai berikut:
a.
Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap
b.
Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah
c.
Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan waktu akad
d.
Menyiram atau menjaga tanaman, jika disyaratkan akan dilakukan bersama hal
itu harus dipenuhi. Akan tetapi, jika tidak ada kesepakatan, penggaraplah yang
paling bertanggung jawab menyiram atau menjaga tanaman
e.
Diperbolehkan menambah penghasilan dari kesepakatan waktu yang telah ditetapkan
f.
Jika salah seorang yang akad meninggal sebelum diketahui hasilnya,
penggarap tidak mendapatkan apa-apa sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu.
2.
Hukum muzara`ah fasid menurut Hanafiyah
Diantara hukum-hukum yang terdapat dalam muzara`ah fasid adalah:
1.
Penggarap tidak berkewajiban mengelola
2.
Hasil yang keluar merupakan pemilik benih
3.
Jika dari pemilik tanah, penggarap berhak mendapatkan upah dari pekerjaannya.[7]
C.
Rukun dan Syarat Muzara`ah
1.
Rukun
Muzara`ah
a.
Ulama`
Hanafiyah
a)
Tanah
b)
Perbuatan
pekerja
c)
Modal
d)
Alat-alat
menanam
b.
Ulama`
Hanbaliyah
a)
Ijab
b)
Qabul
Keduanya boleh dilakukan dengan lafal apa saja yang menunjukkan adanya ijab dan qabul.[8]
2.
Syarat
Muzara`ah
a.
Kedua
orang yang melakukan akad (aqidain) harus berakal
b.
Tanaman
Harus
ada penentuan macam apa saja yang ditanam
c.
Perolehan
hasil tanaman
1.
Harus
menyebutkan jumlah bagian masing-masing (presentasinya ketika akad)
2.
Hasil
adalah milik bersama
3.
Bagian
dari`amil dan malik adalah dari satu jenis barang yang sama
4.
Bagian
kedua belah pihak sudah dapat diketahui
5.
Tidak
disyaratkan bagi salah satunya penambahan
d.
Tanah
yang akan ditanami dan diketahui batas-batasnya
e.
Waktu,
syaratnya:
1.
Waktunya
telah ditetapkan
2.
Waktu
tersebut memungkinkan untuk menanam tanaman
3.
Waktu
tersebut memungkinkan kedua belah pihak masih hidup menurut .kebiasaan.
D.
Penghabisan Muzara`ah
Beberapa hal yang menyebabkan muzara`ah habis, yaitu:
1.
Habis
masa muzara`ah
2.
Salah
seorang yang melakukan akad meninggal
3.
Adanya
udzur.
Menurut
ulama` Hanafiyah diantara udzur yang menyebabkan batalnya muzara`ah antara
lain:
a.
Tanah
garapan terpaksa dijual, misalnya untuk membayar hutang
b.
Penggarap
tidak dapat mengelola tanah, seperti sakit, jihad dijalan Allah Swt. Dan lain-lain.[10]
E.
Hikmah Muzara`ah
Keridlaan Allah swt. Dalam bekerja adalah
sangat penting. Demikian juga keikhlasan dalam bekerja. Akad muzara`ah memeberi
pelajaran kepada semua manusia bahwa betapa penting bumi dan tanah serta benih-benih
yang tumbuh diatas bumi itu diperuntukkan bagi kepentingan umat manusia. Seandainya
saja, Allah swt menjadikan tanah itu tidak subur maka semua benih yang disemai di
atas tanah tersebut akan gagal. Manusia diajarkan untuk selalu mencari ilmu sebanyak-banyaknya
supaya dapat memanfaatkan bumi Allah swt ini dengan hasil guna yang bermanfaat bagi
kehidupan umat manusia.
Ketentuan syarat dan rukun dalam akad
muzara`ah memeberikan rambu-rambu agar manusia dalam bekerja saling menguntungkan dan
tidak saling merugikan. Selain itu, muzara`ah dapat meringankan beban orang
lain dan juga menanggulangi kemiskinan.[11]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pengertian
Muzara`ah secara bahasa yaitu wazan مُفَاعَلَةٌ dari kata اَلزَّرْعُ
yang sama artinya dengan الإِنْبَاتُ (menumbuhkan). Sedangkan secara istilah yaitu kerjasama
antara pemilik sawah/ladang dengan petani penggarap dengan system bagi hasil menurut
perjanjian, dimana benih tanamannya disiapkan oleh penggarap.
Dasar hukum diperbolehkannya kerja sama dalam bentuk muzara`ah adalah
sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
مَنْ كَانَتْ لَهُ اَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا اَوْ لِيَمْنَحْهَا اَخَاهُ
فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ اَرْضَهُ. رواه البخارى
“
Barang siapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya
kepada saudaranya, jika ia tidak mau,
boleh ditahan saja tanah itu.”
(H.R. al-Bukhari dari Abu
Hurairah: 2172)
2.
Status
hukum muzara`ah menurut `ulama Hanafiyyah ada 2, yakni muzara`ah shahih dan
fasid.
3.
Rukun
muzara`ah terdapat perbedaan pendapat, yaitu menurut ulama` Hanafiyah dan
menurut ulama` Hanbaliyah. Sedangkan syarat muzara`ah meliputi aqidain,
tanaman, perolehan hasil tanaman, tanah yang ditanami dan waktu pelaksanaan,
dan alat muzara`ah.
4.
Penghabisan
muzara`ah yaitu habisnya masa muzara`ah, salah satu yang melakukan akad
meninggal, dan adanya udzur.
5.
Hikmah
muzara`ah yaitu menumbuhkan kesadaran manusia untuk memelihara bumi dan tanah
serta benih-benih yang tumbuh diperuntukkan untuk kepentingan manusia,
memberikan rambu-rambu agar manusia dalam bekerja saling menguntungkan dan
tidak saling merugikan, dapat meringankan beban orang lain serta
tertanggulanginya kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA
Syafei,
Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia.
Qosim, M.
Rizal. 2009. Pengamalan Fikih. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
[1] H. Rachmat Syafei,
Fiqih Muamalah, 2001, hlm. 205
[2] M. Rizal
Qosim, Pengamalan Fikih, 2009, hlm. 109
[3] H. Rachmat Syafei,
Fiqih Muamalah, 2001, hlm. 206
[4] M. Rizal
Qosim, Pengamalan Fikih, 2009, hlm. 109
[5] M. Rizal
Qosim, Pengamalan Fikih, 2009, hlm. 110
[6] H. Sulaiman Rasjid,Fiqh
Islam, hlm. 289-290
[7] H. Rachmat Syafei,Fiqih
Muamalah, 2001, hlm. 210-211
[8] M. Rizal
Qosim, Pengamalan Fikih, 2009, hlm. 110
[10] H.
RachmatSyafei, FiqihMuamalah, 2001, hlm. 211
[11] M. Rizal
Qosim, Pengamalan Fikih, 2009, hlm. 111
Tidak ada komentar:
Posting Komentar